There’s Wrong
Hai teman-teman, saat saya menulis ini, saya sedang ingin mengutarakan perasaan saya yang tak bisa saya katakan langsung kepada kedua orang tua saya.
Hari ini saya menyadari, bahwa ternyata hanya SAYA yang selama ini berusaha memperbaiki semuanya. Dulu, ketika saya belajar sosiologi di kelas, guru saya membahas tentang perubahan sosial yang cukup menakjubkan. Alhasil saya mulai membangun mimpi saya sepulang saat hari itu saya belajar.
Mimpi saya yang pertama. Saya mempunyai mimpi untuk tak lagi melanjutkan apa yang sudah kedua orang tua saya lakukan. Dari mulai pengetahuan agama, tingkat pendidikan, bahkan pernikahan. Kedua orang tua saya minim pengetahuan agama, dan akhirnya hanya mampu menyekolahkan anak di sekolah agama, tanpa adanya sentuhan psikologis dari kedua orangtua saya. Itu terlihat juga dari cara kerja kedua orang tua saya dalam pengasuhan dan hubungan seksualitasnya. Ayah saya berselingkuh dan Ibu saya selalu sibuk untuk menjadi FBI, mencari utangan di warung untuk kami makan, dan Tingkat pendidikan juga minim, kedua orang tua saya hanya lulusan SMA, tadinya sih mau lanjut kuliah, tapi karena udah gak kuat tinggal di rumah nenek-kakek saya, jadi ibu saya memutuskan untuk menikahi bapak saya. Dan alhasil, mereka menikah muda.
Mimpi saya yang kedua, bahwa saya ingin menjadi seorang guru. Saya selalu kagum dengan guru-guru saya sejak saya duduk di kelas SMP. Yang tadinya saya tak menyukai matematika, saya jadi paling suka dengan pelajaran itu. Dan di SMA-pun, saya mulai menemukan rangkaian langkah ke masa depan. Itulah sebabnya saya ingin menjadi guru. Dari guru saya bisa termotivasi, dan saya juga ingin memotivasi murid saya kelak, minimal menyemangati batinnya. Saya juga takjub dengan tingkat kesabaran yang dimiliki oleh guru-guru saya. Mereka seperti orang tua kedua, yang harus memahami sifat dan karakter anaknya yang lebih dari satu siswa. Kalau kata dosen saya, menjadi guru itu seperti belajar menjadi orang tua yang tak perlu kamu rasakan mengandung dan melahirkannya.
Mimpi saya yang ketiga, saya bercita-cita untuk punya pendidikan tinggi dan punya pekerjaan yang layak untuk diri saya dan keluarga. Tapi tidak lagi. Sekarang saya merubah pandangan itu menjadi hanya untuk diri saya sendiri. ibu saya melarang saya untuk memiliki pendidikan tinggi, disebabkan karena ujung-ujungnya ya di dapur, nurut sama suami dan taat sama suami. Hal ini saya tolak mentah-mentah dan saya mulai bertanya, laki-laki mana yang harus saya taati bu? Dan apakah menjadi perempuan hanya sebatas dapur dan kasur saja? Pertanyaan itu saya buat kira-kira di tahun 2018. Saat itu saya belum menemukan jawabannya. Ibu saya hanya menjawab, sudah dari dulunya begitu. Dan saya merasa sangat tidak puas dengan jawaban itu. Ibu saya tidak setuju dengan saya berkuliah, katanya mending langsung kerja saja, supaya bisa membantu kehidupan keluarga. SAYA GERAH dengan kata-kata itu. Akhirnya saya mencoba untuk berjuang sendiri mendapatkan universitas negeri dengan sneaky. Saya belajar sendiri tanpa les ataupun bantuan orang lain. Saya hanya bermodal YouTube, Google, dan buku seharga Rp. 45.000. Entah apa yang Tuhan rencanakan untuk hidup saya, saya berhasil lolos dan berkuliah di universitas yang saya tuju.
Itulah tiga mimpi yang saya bangun, berharap saya bisa membawa perubahan di kehidupan saya ataupun keluarga saya.
Sampai di tahun 2019. Saya kehilangan kedua orang tua saya. Kedua orang tua saya bercerai. kehilangan? baca sampai habis tulisan ini ya.
Singkat cerita. Bapak saya menikah lagi, hingga saat ini dikaruniai anak perempuan. Tak ada sepeserpun nafkah lahir yang beliau berikan, bagaimana dengan batin? Sudah mau 5 tahun, saya dan ketiga adik saya tak miliki kontak dengan beliau. Saya dan ketiga adik saya Ikut Ibu, ibu saya menyusul menikah dengan pangeran berkuda putih, yang membawa kehidupan kami menjadi “lebih baik” secara financial, katanya. Lebih tepatnya kata orang-orang. Tapi sejujurnya, tidak dengan saya dan ketiga adik saya. Kami sudah hancur lama sedari kedua orang tua saya melahirkan kami ke dunia. Di rekaman kami, hanyalah pengkhianatan, pertengkaran, trauma dan lain-lain.
Sehingga ini menjadi PR yang sangat sulit untuk saya bangun diantara ketiga adik saya. Adik saya punya trauma dan membentuk diri mereka masing-masing dengan keluar daripada fitrah. Adik saya jadi pendiam, sekalinya emosi langsung meledak-ledak, dan kami selalu menyimpan semuanya sendirian. Ada beberapa hal sebenarnya yang baik, dari mulai makan bareng dan ngobrol, tapi semua itu kebohongan. Saya dan ketiga adik saya mulai tak mempercayai apa-apa lagi. Kami berempat benar-benar kehilangan arah. Namun saya tak menyerah.
Saya pergi, belajar, selama 4 menuntut ilmu, dan saya menemukan lagi mimpi-mimpi yang akan saya bangun di masa depan.
Mimpi pertama, saya menanamkan ke diri saya bahwa agama is number one! Semua masalah di hidup ini, terjadi hanya karena kamu kurang mengenal Tuhan kamu. Saya akui, mungkin saja semua terjadi di kehidupa kedua orang tua saya ini, karena mereka tak mengenal siapa Tuhan mereka. Menikah menjadi jalan ninja, padahal pernikahan bukan jalan keluar daripada masalah hidup. Pernikahan lebih daripada itu. Dan mengenal Tuhan artinya mengenal diri sendiri. saya yakin, ketika kita sudah mengenal diri kita, tak ada satupun manusia yang akan kita sakiti, kalaupun ada, tak ada kekakuan di dalam diri untuk segera meminta maaf. Agama membuat adab kita baik di mata manusia dan di mata Tuhan. Saya masih belajar mengenal diri saya, saya berharap, saya mendapatkan jodoh yang sama-sama mau terus mencoba belajar dan menjadi lebih baik setiap harinya.
Mimpi kedua, pendidikan is number two. Kata siapa perempuan hanya di dapur dan kasur? Ini buktinya! Saya dan ketiga adik saya korbannya. Kami memang menjadi anak yang kuat, tapi lihat kami lebih dalam, kami rusak, kami hancur, kami retak. Saya tak akan membiarkan diri saya diinjak-injak oleh siapapun, termasuk LAKI-LAKI. Pendidikan membuat saya bisa berdiri di kaki saya sendiri. Pendidikan dan kecerdasan saya, akan menurun kepada anak saya nanti. That’s very important for me. For my life. Ini penting untuk menjadi mimpi saya, sebab anak butuh sentuhan kedua orang tuanya. Anak butuh diajarkan caranya melihat, mendengar, meraba, merasa, dan melangkah dengan baik ke tempat yang baik. Seorang ibu madrasah pertama untuk anaknya, seorang Ayah, kepala sekolah untuk madrasahnya.
Mimpi saya ketiga, saya ingin menikah, dan menjadi orang tua. Tapi tidak karena pelarian. Menjadi orang tua berat. Saya tidak mau menjadi seperti kedua orang tua saya. dan pernikahan bukanlah tempat pelarian.
Saat ini saya masih terus belajar, bahkan saya membangun kepercayaan diantara ketiga adik saya. Entah kedepan saya akan menjadi apa, entah kedepan kehidupan kami seperti apa. Saya hanya sudah berserah diri kepada Tuhan, bahwa yang akan saya terus perjuangkan adalah titipan-titipan-Nya. yaitu adik saya. Saya masih berusaha untuk merubah keadaan. Walau saya diterpa oleh omongan yang klise, yang selalu diucapkan oleh orang tua yang tak pernah mau membuka dirinya dengan pekembangan zaman.
Saya tak pernah setuju dengan istilah seperti ini “orang tua yang problematik, terjadi karena dulunya orang tua mereka problematik. Sehingga kita harus banyak mengerti kenapa akhirnya mereka sulit belajar untuk menjadi orang tua zaman sekarang”. It’s not good dude. I’m not agree without that. Tak ada satupun anak di dunia ini yang minta dilahirkan. Kenapa sulit sekali untuk mereka belajar? Setidaknya belajar untuk menerima kenyataan dan kebesaran Tuhan hari ini, bahwa oh yaaa betulll pesan yang dikatakan Khalifah Kedua Umat Islam, Umar bin Khaththab “Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu,” see? Tahun kapan Saidina Umar hidup? Namun sudah memerintahkan kepada para orang tua di muka bumi untuk terus belajar dan meng-upgrade dirinya. kenapa harus anak yang selalu menjadi korban? kami belajar, dan mengetahui setitik pengetahuan, dibilang “oh sudah pintar ya sekarang, sudah bisa melawan orang tua”. Apa salahnya ketika Sang Anak menegur? Memberi tahu? Atau memperbaiki yang salah?
Dan kenapa ya? Mereka selalu berputar di rasa sakit mereka saja?
Tak sadarkah bahwa seorang anak juga bisa merasakan sakit dan mati?
Bantingan kata layaknya seorang yang butuh perhatian itu terlontar dari mulut ibu saya.
“punya anak gak ada inisiatifnya, nanti gimana kalau abi dan mama sakit? Siapa yang ngurus”
“capek saya ngurus kalian, dari dulu saya gak pernah bahagia, gak pernah hidup tenang.”
dan selalu rasa sakit yang meraka rasakan, datangnya dari kami. 😄
Saya katakan di dalam hati saya saat itu juga, bahwa, saya ada selalu disini. Saya, anak pertamanya, kami anak-anaknya, tak pernah pergi kemanapun. Tapi bagaimana ya kalau dibalik? Bagaimana kalau kita yang mati? Bagaimana rasa sakit yang kita miliki ini? tidak bisa sembuh dalam waktu singkat. dan semua bahagia, ketenangan, hanya boleh didapatkan untuk kedua orang tua.
Tapi ini yang saya ajarkan kepada adik saya. saya selalu bilang bahwa kalian harus menciptakan kebahagiaan sendiri, entah apa itu, ciptakanlah. Dan buat ketenangan hidup sendiri. Supaya kita tak perlu sibuk menyalahkan orang lain agar kita bahagia ataupun tenang.
Di titik ini, saya benar-benar sadar. Bahwa keadaan saya dan ketiga adik saya belum banyak berubah. Bahkan semakin kesini, kami semakin kehilangan diri kami. Sedih? Sangatttt. Saya bahkan tak tahu waktu mana yang ingin saya putar kembali. Dalam ingatan saya, hanya ada kenangan buruk. Dan itu sangat menyedihkan.
Saat ini saya benar-benar tidak bisa lagi berbicara apa yang ingin saya utarakan. Melalui tulisan ini, saya berharap bisa membantu meredakan perihnya hati saya. tapi saya tidak akan menyerah, saya akan terus belajar menjadi lebih baik lagi. Sebab mimpi saya semakin hari semakin bertambah. Dan saya tak ingin menyerah sedini ini.
Tulisan ini bukan bentuk ketidak bersyukuran saya terhadap apa yang terjadi. Tapi tulisan ini bentuk kritik saya sebagai anak. Tulisan ini bentuk kehati-hatian menjadi orang tua, sebab itulah diciptakan selain anak durhaka, ada juga orang tua durhaka. Saya tahu Tuhan punya rencana
Yang membaca tulisan ini hingga akhir, saya berharap kalian bisa mengambil pelajaran daripada apa yang saya tulis. Saya baik-baik saja, saya bahagia, saya tenang. Karena saya punya Allah tempat saya bersandar. Saya hanya titipan-Nya. Suatu saat saya dan adik-adik saya akan diambil kembali entah kapan. Namun setidaknya, saya sudah melakukan yang terbaik untuk mereka.
Terima kasih.
Komentar
Posting Komentar